Hujan Bulan Juni dan Hari Pertemanan

Yang aku sadari manusia semakin dewasa diiringi berjalannya waktu. Dewasa bukan karena hanya umur yang bertambah, tapi perubahan bagaimana cara berpikir, dan cara menyikapi segala keadaan.
link gambar

1 Juni 2017.
Menjelang sore, satu jam lagi berbuka puasa. Aku memang tidak berpuasa, tapi aku menantikan momen berbuka puasa, bersama sebagian besar dari mereka yang masih tersisa di kota Yogyakarta ini.
Melaju ke daerah Umbolharjo bersama ibu yang waktu itu juga akan menghadiri acara buka puasa di kantornya. Biasanya aku pergi bersama seorang temanku yang selalu mau menjemputku di rumah meski rumahnya jauh, Purba, tapi sekarang dia sudah berada di kota lain.

Tiba pada momen yang ditunggu, bertemu dengan orang-orang yang selalu menemani pada masa sebagai mahasiswa, yang sekarang sudah mulai jarang bertemu dan tegur sapa karena pekerjaan masing-masing.

"Dianter tadi?", Kang Arsan bertanya padaku.
"Iya kang.", jawabku.
"Nanti pulang sama Elang saja, kalian kan searah, daripada sendiri.", saran kang Arsan.
"Hmm iya nanti gampang.", kataku sedikit ragu.

Ada keraguan. Mengapa? Elang adalah satu-satunya orang diantara banyak orang di sini yang  terasa asing untukku. Entah sudah berapa lama tidak pernah bertemu, entah sudah berapa lama tidak pernah melakukan perbincangan bahkan hanya sekedar tegur sapa, sejak waktu itu, kira-kira empat tahun yang lalu.

Perdebatan dipikiranku sendiri kala itu. Sisi lain berkata, gengsi. Sisi lainnya berkata, sudah waktunya kamu berdamai dengan dirimu sendiri. Seakan semua tubuhku berkonsipirasi, aku mendatanginya, menatapnya dan berkata "Eh aku nanti pulang bareng bisa?".

Aku lupa apa jawabnya kala itu, tapi saya pastikan dia kaget mendengar pertanyaanku  kala itu. Ingin rasanya aku memaki diriku sendiri, bodoh kamu.

Acara selesai, satu persatu teman pamitan pulang. Tersisa lima orang saat itu, dua perempuan dan tiga laki-laki. Hpku berdering, ada seorang teman perempuan bernama Risa ingin bertemu, dan kami sepakat bertemu di suatu tempat makan dekat Kridosono.

Memanfaatkan keadaan untuk membatalkan pulang bersamanya, aku menghampiri Gadis yang sebenarnya akan pulang bersama Haikal. Menawarkan gantian boncengan, agar aku bisa pergi berdua dengan Gadis untuk menemui Risa. Berdiri kaku dan heran, konspirasi macam apa ini, Gadis yang biasanya mau menemaniku, kali ini tidak mau. Lelah alasannya dan ingin dibonceng Haikal. Aku ingat kami sedikit berdebat di parkiran, hingga akhirnya kami sepakat, kami lima orang yang tersisa ikut semua ke Kridosono. Gadis dengan Haikal, aku dengan Elang, ditambah Harun.

Perjalanan Umbulharjo - Kridosono. Diam, tanpa suara. Canggung berada di satu kendaraan dengan orang yang selama empat tahun ini mungkin ku anggap musuh. Hingga tiba di Kridosono, tak ada kata terucap dari bibir kami, kecuali saat menunjukkan posisi tempat makan yang akan kami datangi.

Sebuah kejutan dari Risa yang jauh-jauh datang. Kue ulang tahun dan hadiah ulang tahun. Hari ulang tahunku sudah lewat memang, tetapi aku tetap terkesan dengan kejutan darinya.

Hujan mulai turun, cerita demi cerita kami bagikan satu sama lain. Malam semakin dingin, tak terasa sudah pukul 22.00. Hujan belum juga reda, tapi kami memilih untuk segera pulang. Aku pulang dengan siapa? Ya tentunya dengan dia.

Masih teringat, kala itu aku tak membawa jas hujan dan Elang hanya membawa satu. Elang menawarkan jas hujannya untuk kukenakan, aku sempat menolak. Dia memaksa, katanya, "aku kan sudah memakai jaket, ini anti air kok." Ku iyakan saja dan kemudian mengenakan jas hujannya, daripada semakin lama kita berdebat. Perdebatan pertama yang dilakukan setelah empat tahun.

Perjalanan dari Kridosono ke Rumahku tetap terasa sunyi, diam tanpa kata. Dingin, yang ku rasakan hanya dingin, dinginnya malam yang diguyur hujan, dan dinginnya sikap kami berdua.

Diam tanpa obrolan sama sekali membuatku terhanyut dalam pikiranku sendiri. Jahat, aku jahat. Mengapa aku bisa sejahat itu selama bertahun-tahun. Membencinya, menjauhinya, memusuhinya, diam seribu kata dan meninggalkan sebuah tanda tanya besar untuknya.

Hey, orang yang kamu benci itu sekarang mengantarmu pulang. Meminjamkan jas hujannya untuk kau pakai dan membiarkan dirinya sendiri basah terguyur hujan. Kamu jahat. Seakan semesta memarahiku kala itu.

Malam itu aku bertekad, mulai hari ini aku akan mengubur semua kebencian ku di masa lalu. Mencoba memaafkannya dan memulai pertemanan dengannya lagi, walau harus dari awal. Mungkin memang hari ini saatnya, aku harus berdamai dengan semua masa lalu ku, dengan kebencian yang aku rasakan sendiri.

Tiba-tiba ada suara yang kudengar.
"Kerjaanmu gimana? Udah betah?", tanya Elang memecah keheningan.
"Ehhm.. iya hehe betah kok, nyaman tempatnya.", kataku canggung.
Kemudian hening lagi, dan giliranku mencoba memecah suasana.
"Kamu masih ingat kan arah ke rumahku?.", tanyaku.

1 Juni 2018.
Malam ini tidak hujan seperti setahun lalu. Tapi, dingin mungkin lebih dingin dari setahun lalu. Menyadari memang ini sudah pukul 00.00 dan kami baru dalam perjalanan pulang. Setidaknya, sikap kami dan obrolan kami tidak sedingin setahun lalu.
“Btw kamu belum jawab yang kemaren?”, tanya Elang.
“Heh yang mana emang masih ada?”, kataku bingung.
“Yang kenapa baik banget itu.”, tanya Elang.
“Udah aku ceritain kali lang, kan… “, ceritaku panjang.
Menyadari hampir tiba di rumahku.
“Jangan bilang ini kita mau ke Gelato buat cerita ya.”, kata Elang.
“Nggak lah, gila ini udah jam berapa, udah tutup juga. Nanti deh aku tulis aja di twitter.”, kataku.


2 Juni 2018.
"Ingat nggak ini perayaan hari apa?", tanyaku.
"Apa emang? Perayaan ultah hari ketiga?", Elang heran.
"Bukan, hari pertemanan, satu tahun yang lalu kita pulang bareng.", kataku diiringi tawa.
"Astaga, kenapa cewek masih aja inget aja hal detail begitu.", katanya menyambut tawaku.
“Masih ingat pertama kali nganterin kamu pulang kapan?”, tanya Elang.
“Eh kayaknya ya sama waktu itu juga, waktu dulu sebelum marahan juga gak pernah pulang bareng kan.”, kataku.
“Lha iya orang dulu masih ada Purba, Purba mah rumahnya dimana tetep nganterin kamu dulu.”, katanya.
“Hahaha.. baik ya dia, sekarang lu juga.”, kataku dengan tawa.
Kemudian dua orang datang, Haikal dan Harun. Kamipun memilih segera pergi dan mencari tempat makan malam.

Lucu mengingat kejadian satu tahun lalu. Hal paling absurd di hidupku. Andaikan dulu aku masih saja mempertaruhkan gengsiku, sok jaim, tidak pernah memperbaiki masa lalu dan membiarkan begitu saja hingga kita benar-benar menjadi dua asing. Hari ini mungkin aku hanya berada di rumah, atau di sudut cafe menikmati segelas cokelat sendiri, atau asik berbelanja yang sia-sia. Bisa jadi, tulisan ini juga tidak pernah ada, tulisan sebelum-sebelum ini juga tidak ada, domain .com juga tidak pernah ada. Tidak tau harus ke siapa bercerita, ke siapa meminta bantuan, ke siapa jika bosan dengan drama perkantoran, ke siapa jika lelah dengan drama kehidupan.



Selamat Hari Pertemanan 
Awal Bulan Juni, yang dirayakan dengan tidak hujan.

@astrimeika