Cerpen: Sebatas Kabar

Untuk sekarang bagiku sudah cukup; hanya sebatas mengetahui kabarmu baik-baik saja.

doc pribadi

Hari ini begitu cerah, sinar mentari terik menyinari kota dengan sejuta kenangan ini, Yogyakarta. Akhirnya bisa kembali setelah setahun merantau di Ibukota. Ku istirahat kan perjalananku sejenak, berhenti di salah satu warung bakso yang sudah legendaris sedari aku kecil, tak pernah terlupakan meskipun banyak tempat makan kekinian bermunculan. Setelah memesan, mataku tertuju pada seorang wanita paruh baya yang berjalan sendiri melewati warung ini. Menyadari aku mengenalnya, lalu aku panggil dan datangi.

“Bu Larsih”, panggilku.
Kemudian ibu itu menengok melihatku agak bingung, mungkin dia sudah lupa.
“Weleh cah ayu, ibu pangling je.”, katanya lalu tersenyum lebar padaku.
Bahagia sekali melihat Bu Larsih yang terlihat sehat dan selalu cantik, apalagi senyumnya yang tak pernah hilang ketika bertemu denganku.
“Saking pundi bu?”, tanyaku dengan bahasa jawa.
“Dari bank neng ngarep dalan kuwi lo.”, jawabnya.
“Pinarak rumiyin bu, dhahar bakso, ngrencangi kula.”, aku mengajak Bu Larsih menemaniku makan bakso.
“Weleh mengko malah ibu ngrusuhi.”, katanya.
“Ngresahi kados pundi to bu, kula piyambakan.”, kataku lalu mengajak bu Larshi masuk.
Setelah ku pesankan bakso dan jeruk hangat, ku persilahkan bu Larsih duduk.
“Libur po nduk?”, tanya bu Larsih.
“Inggih bu, pundhut cuti.”, kataku.
“Sehat to nduk? Ibu sehat?”, tanyanya.
“Puji syukur saya sehat bu, Ibu juga. Kalau ibu saya kan Bu Larsih justru lebih tau daripada saya anaknya.”, kemudian aku jawab dengan bahasa Indonesia.
“Lha iyo, wong tiap minggu ketemu.”, jawabnya.
“Ibu kok ke Bank sendiri, biasanya kemana-mana diantar Kresna bu?”, tanyaku.
“Ah wes biasa dewe, wong cedhak kok. Kresna saiki wes kerja mangkat esuk mbalik sore.”, jawabnya.
“Syukurlah kalau Kresna udah kerja nggih bu, saya ikut seneng.”, kataku.

Kemudian pesanan kami pun datang, kupersilahkan Bu Larsih makan. Sambil makan bu Larsih terus cerita tentang dia dan anak-anaknya, Bayu dan Kresna. Kudengarkan semua ceritanya, sepertinya bu Larsih memang butuh teman cerita, dan aku juga kebetulan ingin mendengar ceritanya, untuk sekedar tau bagaimana kondisi mereka terutama Bayu.

“Bu Larsih mengapa tidak tinggal sama Bayu bu.”, tanyaku.
“Rumah ibu kan di sini to nduk, lingkungan ibu di sini, berat mau ninggalin kampung ini.”, jawabnya.
“Tapi mas Bayu sering ke rumah jenguk ibu kan?”, tanyaku.
“Ya kadang-kadang nduk, kalo kerjaannya nggak banyak. Nggak mesti seminggu sekali ke rumah.”, jawabnya.
“Eh nduk, sekarang kamu sama siapa?”, lalu tiba-tiba Bu Larsih bertanya.
“Sama siapa apanya bu?”, tanyaku bingung.
“Pacarmu siapa nduk? Orang mana?”, tanyanya.
“Belum ada bu.”, jawabku.
“Ah masa to, di Jakarta kan banyak laki-laki.”, katanya.
“Banyak bu, tapi belum ada yang pas.”, jawabku.
“Kamu masih mau sama Bayu ya?”, katanya yang sontak membuat aku kaget.
“Masih mau gimana to bu, saya dan mas Bayu kan sudah selesai.”, kataku.
“Tapi kan kenangannya masih terus ada.”, katanya.
“Tidak bu, mas Bayu sudah masa lalu bagi saya. Mas Bayu kan sudah bahagia. Saya sendiri bukan karena belum bisa merelakan mas Bayu bu, prioritas saya sekarang kerja bu ngebahagiain orangtua saya dulu.”, jawabku.
“Kamu juga kelihatan bahagia sekarang. Yang penting cari laki-laki yang baik ya nduk, yang lebih baik dari Bayu.”, katanya.
“Iya bu kalau saya intinya selalu bersyukur bu biar bahagia terus. Ah ibu bisa aja, emang Bayu nggak baik apa? Masa anak sendiri dibilangin nggak baik ibu ini.”, jawabku.
“Ya Bayu baik, tapi lebih baik dulu dia tidak mengecewakanmu kan.”, katanya.
“Semua itu sudah diatur sama yang di atas bu. Memang jalannya begitu, kalo memang bukan jodohnya, mau dipaksakan juga tetep nggak bakal bisa kan bu.”, jawabku.
“Bener nduk, dewasa ya kamu sekarang.”, jawabnya.
“Lho ibu ini malah ngledek saya.”, kataku.
“Kamu udah nggak pernah komunikasi sama Bayu ya?”, tanyanya.
“Tidak pernah lagi bu. Makanya saya senang tadi kebetulan ketemu ibu, apalagi ibu mau cerita, saya jadi tau keadaan ibu dan mas Bayu. Cukup bagi saya tau keadaan ibu dan mas Bayu baik-baik saja, saya ikut senang”, kataku.

Kemudian kami menyadari sudah terlalu lama kami mengobrol, makanan dan minuman kami pun sudah habis. Kamipun sepakat mengakhiri obrolan kami dan segera pulang. Sebelumnya aku membayar makanan kami, yang awalnya Bu Larsih menawarkan diri untuk membayarkan, tapi aku menolaknya.
“Bu saya antar nggih pulangnya.”, kataku.
“Nggak usah nduk, ngrepotin, rumahku yo cedhak kok.”, jawabnya.
“Mboten napa-napa bu, saya kebetulan juga lewat kok.”, kataku basa-basi.

Bu Larsih pun bersedia aku antar pulang. Sampai depan rumah Bu Larsih aku melihat motor yang tak asing bagiku parkir di halaman rumah Bu Larsih, yang jelas itu bukan Kresna karena kata Bu Larsih jam segini Kresna belum pulang kerja.

“Loh ini kayaknya motornya Bayu. Walah kok pas banget.”, kata bu Larsih.
Benar memang itu motor Bayu, motor yang masih sama belum berubah, yang menjadi saksi perjalanan ku dengan Bayu.
“Nduk, mampir dulu yuk, ketemu Bayu. Tapi bocahe neng ngendi yo.”, kata Bu Larsih.
Memang rumah Bu Larsih pintunya tertutup dan tidak ada tanda orang di dalam, aku hapal keluarga ini tidak pernah menutup pintunya jika memang ada orang di rumah.
“Mboten bu, saya langsungan saja, masih ada janji sama teman.”, kataku terpaksa bohong.
“Yakin nduk?”, tanyanya.
“Inggih bu, salam saja buat mas Bayu.”, kataku menyakinkan bu Larsih.

Lalu aku pamit pulang. Di pertigaan dekat rumah Bu Larsih ada sebuah warung kopi, aku sempat melihatnya, sosok yang tak asing untukku, meskipun aku hanya melihat punggungnya saja, tapi aku tau itu Bayu. Rupanya kamu disitu mas, kataku dalam hati.

@astrimeika