Cerpen: Menabung Kenangan Part 1

Begitulah kami, tahun berganti tahun kami terus menabung kenangan. Tak semua kenangan penuh sukacita, tentu juga ada dukacita. Namun penuh syukur boleh dilewati dengan penuh kebijaksanaan.
http://fenwayfocus.org/wp-content/uploads/2015/05/holding-hands-on-beach-1024x656.jpg
Ku kenakan jaket ke tubuhku. Ku ambil payung dari laci mejaku lalu ku angkut beserta tas dan botol minum ku. Diluar hujan lebat, begitu yang bisa kulihat dari balik pintu kaca.  Terucap  salam perpisahan kepada rekan satu divisi ku, sampai jumpa besok Senin, kataku. Melangkah keluar dari ruangan berbentuk persegi panjang, ku masuki salah satu dari banyak deretan gerobak, begitu orang tidak percaya diri menyebutnya. Meskipun hanya muat untuk empat orang saja termasuk pengemudi, sungguh aku bersyukur ini milikku sendiri, yang ku bayar tanpa hutang, hasil dari kerja kerasku sendiri.
Hujan lebat memang membuat jarak pandang semakin berkurang, apalagi untukku si kacamata minus. Namun, rasa rindu untuk bertemu mampu mengalahkan semua situasi saat ini.
Aku sudah di bandara. Masih menunggu bagasi.
Oke. Ini aku baru mampir toko kue.
Begitulah yang ku baca dari layar handphone ku yang baru saja menyala. Dan kemudian aku balas saat tiba di toko kue langgananku.
Kue sudah ku dapatkan, lengkap dengan lilin ulang tahun serta piring kertas dan sendok plastik. Tradisi yang tak pernah aku lupakan sejak masa kuliah.
Kembali ke mobil, ku nyalakan lagi layar handphone ku. Kali ini pesan dari seseorang yang sudah betah hampir setahun mengisi hatiku.
Hari ini jadi?
Iya jadi, ini otw. Yakin mas nggak mau ikut?
Yakin dengan sepenuh hati, takut merusak suasana ih. Ini juga masih ada kerjaan, lembur deh kayaknya. Salam aja buat sahabat-sahabat kamu.
Apaan sih, ya nggak lah.. Ya udah, semangat kerjanya ya mas, jangan lupa makan.
Kemudian ku lihat jam dan kuputuskan untuk tidak menunggu balasan chatnya lagi. Melaju lagi menembus hujan yang tak kunjung reda. Hujan yang membawa kerinduan ku kepada sahabat-sahabatku semasa kuliah.
Sekitar 30 menit kemudian, aku tiba di sebuah mall. Naik ke lantai 4, menuju satu-satunya Restaurant yang berada di Rooftop mall tersebut.
Tumben bagus juga pilihannya kali ini. Batinku kala aku membuka pintu Restaurant. Lalu aku disambut oleh pelayan dan kemudian ku ucapkan reservasi atas nama Elang. Dia menunjukkan meja yang berada di area balkon. Sekali lagi aku dibuat takjub atas pilihan sahabatku yang berbeda tak seperti biasanya, yang kemudian aku tau ternyata ini semua pilihan Wina, pacar baru Elang.
Kemudian aku titipkan kue bawaan ku kepada si pelayan bernama Tita, begitu nama yang tertera di seragamnya. Lalu Tita menyimpan kue tersebut di meja kasir setelah ku jelaskan apa yang harus di lakukan nantinya dengan kue tersebut.
Lalu handphone ku berdering, telepon masuk dari kang Arsan, yang setelah ku angkat justru suara perempuan.
“Ini aku Adiba dik. Kamu sudah sampai?”, katanya.
“Oh mbak Adiba, sudah ini baru saja, baru aku sendiri tapi. Kamu dimana mbak?”,  kataku.
“Di lantai dua dik, ini kang Arsan masih cari kado”. katanya.
Gila ini kang Arsan baru cari kado, lupa kali ya, kebiasaan kan. Kataku dalam hati saja tapi.
Kang Arsan, sahabatku, paling cerdas diantara kami, paling rajin ibadah juga, tapi paling pelupa, mungkin karena paling tua. Beruntung sekarang ada sosok perempuan yang sabar mengingatkannya, mbak Adiba, wanita soleha yang dulu teman sekantornya namun semenjak 5 bulan lalu sah menjadi istrinya.
Sembari menunggu kedatangan yang lain aku melihat sekeliling, berjalan ke sudut balkon karena penasaran dengan keadaan diluar. Dari ketinggian aku bisa melihat padatnya lalu lintas di jam pulang kantor ini, akhir pekan lagi. Hujan sudah mulai reda, namun jalanan masih basah. Terlihat deretan warung makan kaki lima di seberang mall, dulu aku dan sahabat-sahabatku yang akan bertemu nanti sering makan di sana. Kala kami masih mahasiswa, hingga kala kami masih menjadi pegawai anyaran, maklum uang kami dulu hanya cukup jajan dipinggiran seperti itu. Tempatnya masih sama, sederhana, namun ramai mahasiswa, juga bergantian para pengamen datang dan pergi. Teringat kala terakhir kali kami makan di sana, waktu itu sahabat kami Purba menerima gaji pertamanya. Purba mentraktir kami, begitulah kami dulu, bergantian merayakan gaji pertama kami, hingga kenaikan-kenaikan gaji selanjutnya,
Tak lama ada seorang perempuan menuju mejaku, lalu spontan ku peluk dia dan kataku “Dara makasih ya udah mau datang”.
Dara adalah pacar dari Purba. Purba sendiri sedang dinas di kantor Jakarta, maklum leader divisi jadi sering bolak-balik Jogja Jakarta. Awalnya Dara enggan datang, malu dan sungkan katanya karena nggak ada Purba. Tapi aku berhasil membujuknya, bukankah yang menjadi pacar Purba juga berarti menjadi sahabat kami. Dan aku gembira Dara akhirnya datang, karena pikirku aku akan terjebak diantara tiga pasangan, setelah mengetahui Levin tak bisa menemaniku karena harus lembur.
Dara sendiri termasuk paling muda diantara kami, dia mahasiswa semester 5 jurusan Administrasi Perkantoran di salah satu perguruan tinggi negeri di Jogja. Tapi aku paling akrab dengan Dara, bahkan beberapa kali aku mengajaknya jalan dan makan diluar.

@astrimeika