Kamu dan Definisi Adilku | #hiduppenuhdrama

Bukankah wanita hebat akan mendapatkan pria yang hebat juga? dan bukankah untuk mendapatkan yang terbaik butuh waktu yang lebih lama?

Aku, Laluna memasuki sebuah cafe yang cukup terkenal, memandang dengan seksama setiap sudut, mencari apa yang aku ingin temui. Berjalan melewati beberapa gerombolan muda-mudi yang sedang asyik dengan dunia nya sendiri. Dari sudut ruang terdengar suara lelaki menyapa.
"Hey, Luna", katanya.
Seketika mataku langsung fokus kepada satu orang saja diantara banyak orang di tempat itu.
Heeey, kataku diikuti dengan kakiku yang semakin cepat melangkah ke meja di paling sudut. Senyumnya terus menggiringku untuk segera tepat berhadapan dengannya.
Sudah menunggu lama?, kataku dikala tanganku dan tangannya berjabat.
Belum, tenang saja, katanya yang mencoba menyakinkan ku.
Lalu kami duduk berdua di sudut ruang, seakan hanya kami berdua yang berada di ruangan ini. Dia memulai percakapan.
Kamu tau dia akan menikah bulan depan?
Tau.”, kataku dengan ekspresi datar.
Darimana?
Media sosialnya. Kenapa dia tak mengundangku?
Entahlah, mungkin belum. Lalu kenapa kau mengundangku disini?”, tanyanya dengan antusias.
Hidup ini tak adil ya.
Mengapa?
Dia sudah, aku belum.”, kataku dan aku mulai gusar.
Hanya karena itu saja, definisi tak adil bagimu?
Mungkin. Dia bahagia, aku tidak.
Apa kau tak bahagia dengan pekerjaanmu sekarang?
Bahagia.
Apa kau tak bahagia dengan liburanmu ke luar negeri sakura bulan lalu?
Bahagia. Hey darimana kau tau?”, tanyaku curiga.
Tak penting, aku belum selesai bertanya. Apa kau tak bahagia tahun depan kau bisa melanjutkan studimu?
Bahagia. Kau tau darimana? Aku bahkan belum bercerita tentang itu.”, tanyaku semakin curiga.
Tak penting aku tau darimana. Lalu mengapa kau bilang kau tidak bahagia?
Bahagia bukan seperti itu maksudku.”, kataku dengan mulai menundukkan kepala
Lalu yang bagaimana?
Kamu tak akan paham apa yang aku rasakan.
Aku paham.
Bohong.
Hidup ini adil.”, katanya menyakinkaku.
Bagi dia.”, kataku sambil menatap matanya.
Jika dia bisa, dia ingin seperti kamu. Melanjutkan studinya, punya pekerjaan mapan, liburan ke luar negeri. Tapi dia tak bisa.
Lalu kenapa dia tidak berusaha? Kau pikir aku bisa tanpa berusaha?”, kataku mulai menahan amarah.
Kemampuan orang berbeda. Kesempatan juga berbeda. Rejeki juga berbeda.
Sudah itu saja?
Setelah dia menikah, dia hanya akan tinggal di rumah, mengurus rumah dan suaminya. Kau, masih bisa bebas dengan segala kegiatanmu itu. Dia hanya akan tergantung dengan penghasilan suaminya. Kau masih bisa bebas membeli apa yang kau mau.”, katanya mulai menceramahiku.
Hey hidup tak hanya dilihat dari segi materi bukan?
Memang tidak. Kau tau bagaimana hidupnya selama ini?
Memang bagaimana?”, tanyaku malas.
Dia banyak diremehkan orang-orang, termasuk orang seperti kamu. Karena dia tak seperti oranglain yang  berpendidikan tinggi. Jika dia bekerja kau bisa bayangkan kira-kira pekerjaan seperti apa yang bisa dia lakukan? Dia diremehkan karena hingga sekarang masih berdiri di kaki orangtuanya. Selama ini hidupnya hanya bergantung dengan orangtuanya. Bahkan salah satu alasannya segera menikah agar tidak lagi merepotkan orangtuanya.
ohh”, kataku malas.
Lalu apa bedanya kehidupannya sebelum dan setelah menikah nanti? Bahkan dia tak pernah merasakan fase yang kau rasakan saat ini.”, katanya menyakinkanku.
“...", Aku hanya diam.
"Kupikir hidup lebih adil untukmu. Kau sekarang mungkin belum menemukan orang yang tepat, tapi toh suatu saat kau akan menikah juga. Sembari menunggu saatnya datang, kau bisa mewujudkan segala impianmu dan mengasah diri agar menjadi wanita yang hebat untuk pasanganmu nanti. Bukankah wanita hebat akan mendapatkan pria hebat juga? Dan bukankah untuk mendapatkan hasil yang terbaik butuh waktu yang lebih lama? Lalu bagaimana dengan dia? Diumur yang sama dengan kita dia sudah menikah, lalu kehidupannya setelah itu? Tentu mengurus suami dan anak serta problematika rumah tangga. Fase itu yang akan kau lalui juga kelak, tapi bedanya kau pasti akan lebih siap dan lebih banyak bekal".
"Ya, aku mengerti. Terimakasih.", kataku.

Aku mencoba menahan segala gejolak rasa yang ada, sembari meminum secangkir cokelat yang cukup lama ku anggurkan karena lamanya perdebatan antara kami.
Kau lebih baik sekarang?”, katanya memulai pembicaraan lagi.
Ya. Hey darimana kau tau tentang liburan dan studiku?”, kataku penasaran.
Dari ibumu.
Kau ke rumahku?
Ya, kala kau sedang berlibur.
Untuk apa mencariku?”, aku semakin penasaran.
Rindu.”, katanya sambil menatapku tajam.
Kenapa bisa?
Kau masih sama seperti dulu ya, keras kepala.
Kau tak menjawab pertanyaanku.”, aku mulai kesal
Aku rindu mengobrol denganmu.
Ini sudah.
Kau mau menemaniku?”, tatapannya tak juga beranjak dari mataku
Kemana?
Ke pernikahannya?
Kenapa harus aku?”, tanyaku dengan malas
Biar hidup ini adil.
Adil yang bagaimana?
Orang-orang datang dengan kekasihnya, aku juga ingin.”, katanya dengan risau
Aku hanya temanmu. Kau cari saja kekasih. Masih ada waktu satu bulan kan.
Sudah ku temukan.
Siapa? kenapa kau tak cerita kepadaku? Lalu, kenapa kau tak mengajaknya”, kataku penasaran.
“JIka kamu orangnya?
Maksudmu?
Kau mau jadi kekasihku?”, katanya dengan penuh harap.

@astrimeika