Buffalo
Boys, film Indonesia rasa Internasional yang digarap oleh sineas asal
Singapura Mike Wiluan dan naskah ditulis oleh Mike Wiluan, Raymond Lee,
dan Rayya Makarim.
Buffalo
Boys menceritakan kisah seorang laki-laki bernama Arana (Tio Pakusadewo) dengan
dua keponakannya yang merupakan pangeran Jawa yaitu Jamar (Ario Bayu) dan Suwo
(Yoshi Sudarso). Setelah beberapa dekade di pengasingan di Amerika Serikat,
keduanya pulang ke Jawa untuk membalas dendam atas pembunuhan ayah mereka,
seorang Sultan lokal, yang dilakukan oleh pasukan Belanda yang dipimpin
oleh Van Trach (Reinout Bussemaker).
link |
Dalam
perjalanan, mereka bertemu dengan kakak beradik anak kepala desa yaitu Kiona (Pevita
Pearce) dan Sri (Mikha Tambayong), serta penduduk desa yang seringkali harus
menderita akibat kekejaman para penjajah yang merebut harga dan tidak segan
untuk membunuh mereka. Suwo kemudian jatuh cinta kepada Kiona, sedangkan
Jamar fokus dengan rencana balas dendamnya, sedangkan Arana mendapatkan kejutan
dari masa lalunya. Saat kekuatan dari masa lalu dan masa ini bertemu, membuat
mereka sadar bahwa mereka berada di sini tidak hanya untuk membalaskan
dendam keluarga mereka namun juga untuk membantu rakyat Indonesia terbebas dari
jajahan pihak kolonial Belanda.
Film
Koboi dengan kearifan lokal
Film
ini menampilkan set lokasi Indonesia pada masa penjajahan era Belanda.
Setting ala pedesaan dengan keindahan alamnya membuat kita terpukau, uniknya
set lokasi juga di campur gaya bar western Amerika.
Bahasa
dalam film ini menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Inggris mengingat Jamar dan
Suwo lama tinggal di Amerika, serta Bahasa Indonesia tentunya. Gaya bahasa yang
digunakan di film ini sangat kaku dan terkadang sangat puitis, namun itu yang
membuat justru makin unik. Sayangnya, ada yang fail menurut saya ketika Jamar
berbicara dengan kata "ngapain".
Audio
Visual yang Memukau
Mulai
awal hingga akhir film, kita akan dimanjakan dengan visual nuansa jingga dan
abu-abu yang membuat film ini terasa film Hollywood. Adegan demi adegan diambil
dengan sangat rapi dan natural. Sepanjang film kita akan disuguhkan adegan baku
hantam, perkelahian, tembak menembak, dan adegan berdarah-darah. Saya sendiri
dibikin ngeri dan merinding dengan adegan sadis yang terasa seperti nyata.
Ditambah lagi efek audio yang semakin bikin deg-degan dan ngeri. Penonton akan
disuguhkan banyak suara ledakan, tembakan, serta teriakan.
Karakter yang Kurang Mendalami
Banyaknya karakter di film ini membuat masing-masing karakter yang ada kurang ditampilkan lebih dalam. Sepeti Kiona perempuan berani yang ingin menjadi seperti lelaki agar bisa melakukan apa saja, namun adegan aksi Kiona membantu Jamar dan Suwo hanya ditampilkan sedikit. Kisah Arana dan Seruni (Happy Salma) yang sudah tidak berpuluh-puluh tahun tidak bertemu juga kurang dibahas lebih dalam. Namun, tetap mengapresiasi sebesar-besarnya untuk semua pemain yang sudah tampil secara natural.
Keseluruhan
film ini menurut saya bagus dan sangat berbeda dengan Film Indonesia lainnya
yang juga sedang tayang, menampilkan cerita yang fresh. Durasi film 105 menit
terasa pas menurut saya, tidak membuat bosan meski film ini tentang sejarah
karena dikemas dengan rasa Internasional. Perlu diingat film ini untuk umur 17 tahun ke atas, karena banyaknya adegan perkelahian dan darah yang belum pantas dilihat anak-anak.