Review Jujur #9: Buffalo Boys


Buffalo Boys, film Indonesia rasa Internasional yang digarap oleh sineas asal Singapura Mike Wiluan dan naskah ditulis oleh Mike Wiluan, Raymond Lee, dan Rayya Makarim.

Buffalo Boys menceritakan kisah seorang laki-laki bernama Arana (Tio Pakusadewo) dengan dua keponakannya yang merupakan pangeran Jawa yaitu Jamar (Ario Bayu) dan Suwo (Yoshi Sudarso). Setelah beberapa dekade di pengasingan di Amerika Serikat, keduanya pulang ke Jawa untuk membalas dendam atas pembunuhan ayah mereka, seorang Sultan lokal, yang dilakukan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh Van Trach (Reinout Bussemaker). 

link
Dalam perjalanan, mereka bertemu dengan kakak beradik anak kepala desa yaitu Kiona (Pevita Pearce) dan Sri (Mikha Tambayong), serta penduduk desa yang seringkali harus menderita akibat kekejaman para penjajah yang merebut harga dan tidak segan untuk membunuh mereka. Suwo kemudian jatuh cinta kepada Kiona, sedangkan Jamar fokus dengan rencana balas dendamnya, sedangkan Arana mendapatkan kejutan dari masa lalunya. Saat kekuatan dari masa lalu dan masa ini bertemu, membuat mereka sadar bahwa mereka berada di sini tidak hanya untuk membalaskan dendam keluarga mereka namun juga untuk membantu rakyat Indonesia terbebas dari jajahan pihak kolonial Belanda.

Film Koboi dengan kearifan lokal
Film ini menampilkan set lokasi Indonesia pada masa penjajahan era Belanda. Setting ala pedesaan dengan keindahan alamnya membuat kita terpukau, uniknya set lokasi juga di campur gaya bar western Amerika.

Bahasa dalam film ini menggunakan dua bahasa yaitu Bahasa Inggris mengingat Jamar dan Suwo lama tinggal di Amerika, serta Bahasa Indonesia tentunya. Gaya bahasa yang digunakan di film ini sangat kaku dan terkadang sangat puitis, namun itu yang membuat justru makin unik. Sayangnya, ada yang fail menurut saya ketika Jamar berbicara dengan kata "ngapain".

Audio Visual yang Memukau
Mulai awal hingga akhir film, kita akan dimanjakan dengan visual nuansa jingga dan abu-abu yang membuat film ini terasa film Hollywood. Adegan demi adegan diambil dengan sangat rapi dan natural. Sepanjang film kita akan disuguhkan adegan baku hantam, perkelahian, tembak menembak, dan adegan berdarah-darah. Saya sendiri dibikin ngeri dan merinding dengan adegan sadis yang terasa seperti nyata. Ditambah lagi efek audio yang semakin bikin deg-degan dan ngeri. Penonton akan disuguhkan banyak suara ledakan, tembakan, serta teriakan.

Karakter yang Kurang Mendalami
Banyaknya karakter di film ini membuat masing-masing karakter yang ada kurang ditampilkan lebih dalam. Sepeti Kiona perempuan berani yang ingin menjadi seperti lelaki agar bisa melakukan apa saja, namun adegan aksi Kiona membantu Jamar dan Suwo hanya ditampilkan sedikit. Kisah Arana dan Seruni (Happy Salma) yang sudah tidak berpuluh-puluh tahun tidak bertemu juga kurang dibahas lebih dalam. Namun, tetap mengapresiasi sebesar-besarnya untuk semua pemain yang sudah tampil secara natural.

Keseluruhan film ini menurut saya bagus dan sangat berbeda dengan Film Indonesia lainnya yang juga sedang tayang, menampilkan cerita yang fresh. Durasi film 105 menit terasa pas menurut saya, tidak membuat bosan meski film ini tentang sejarah karena dikemas dengan rasa Internasional. Perlu diingat film ini untuk umur 17 tahun ke atas, karena banyaknya adegan perkelahian dan darah yang belum pantas dilihat anak-anak.

@astrimeika