Jelita Sejuba. Film yang bersetting di Pulau Natuna, Kepulauan Riau
berkisah tentang seorang wanita asli Natuna bernama Sharifah (Putri Marino)
yang mencintai seorang tentara asal Bandung bernama Jaka (Wafda S Lubis). Meskipun
Ipah (panggilan Sharifah) mencintai Jaka, tak lantas membuatnya langsung menerima
lamaran Jaka. Setelah melalui pergulatan batin akhirnya Ipah menerima lamaran
Jaka dan menjadi seorang istri tentara.
Menjadi istri seorang tentara tentu tidak mudah. Selama durasi film
105 menit, kita akan disuguhkan bagaimana kehidupan menjadi seorang istri
tentara, suka dan duka (yang menurut saya lebih banyak dukanya), bagaimana Ipah
harus berjuang sendiri mengurus anak dan lika-liku hidupnya ketika ditinggal
suami yang mengabdi negara.
Film ini memang fokus kepada kehidupan Ipah, namun tidak hanya
hubungan Ipah dan Jaka saja yang diulas, namun juga hubungannya dengan ibunya
(Nena Rosier), konflik dengan ayahnya (Yayu Unru) dan adiknya yang nakal
bernama Farhan (Aldi Maldini).
JATUH CINTA DENGAN
SOSOK IPAH.
Apresiasi yang besar dari saya untuk seluruh pemainnya terutama Putri
Marino yang sangat cantik dan natural, pas sekali memerankan sosok Ipah. Ipah disini seorang wanita rendah hati, berpenampilan
sederhana, nggak neka-neko, lulusan SMA, yang menikah dengan Jaka, mempunyai anak,
dan mendedikasikan waktunya untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anaknya.
Putri Marino yang juga memang aslinya sederhana, menurut saya berhasil menghidupkan
sosok Ipah di film ini.
Campur aduk perasaan saya ketika melihat adegan demi adegan Ipah.
Darimulai baper bahkan jadi pengen punya seorang suami tentara seperti Jaka.
Ada adegan yang membuat saya berkata dalam hati “Kayaknya asik juga punya suami
tentara”. Namun ada adegan yang lalu membuat saya mengurungkan niat dalam-dalam
untuk mempunyai suami tentara. Saya bukan wanita sekuat dan setegar Ipah. Jika
saya menjadi Ipah mungkin saya sudah depresi, menganggap hidup ini bahkan Tuhan
tak Adil kepada saya.
Selain itu, ada rasa jengkel juga terhadap Ipah ketika Jaka melamarnya
tapi Ipah tak mengerti-mengerti juga, rasa jengkel ketika Ipah tak bisa
membantu mengerjakan PR anaknya. Ada rasa rapuh ketika Ipah menangis dan lelah
menjalani hidup menjadi istri seorang tentara dan sang Ibu menguatkannya.
Sosok Ipah benar-benar menginspirasi saya. Bagaimana totalitasnya untuk
menjadi ibu rumah tangga. Memasak, mengurus anaknya, menemani dan menyemangati
anakknya belajar, bahkan Ipah juga membantu perkonomian keluarganya dengan
berjualan ikan asap. Meskipun Ipah sudah berkeluarga dan tinggal di barak tentara,
namun dia masih mempunyai rasa tanggungjawab sebagai anak sulung terhadap adiknya,
bagaimana Ipah menyakinkan Farhan bahwa dia akan mampu membiayai biaya kuliah
Farhan.
FILM YANG NATURAL.
Saya juga memberikan apresiasi yang besar kepada sang Sutradara yaitu Ray
Nayoan. Ray Nayoan berhasil menghidupkan film yang sebenarnya sederhana namun
menjadi epic karena ke-naturalan-nya. Bahkan setiap adegan bahkan detail terkecil
pun dibuat sangat natural. Semua pemainnya juga tampil natural, tidak hanya
Ipah dan Wafda, bahkan peran Siti yang hanya menjadi selingan saja juga tampil
sangat natural. Gila bener sih ini. Film ini bener-bener hidup, apa adanya,
nggak lebay, sangat dekat dengan kehidupan nyata. Ditambah lokasi film ini yang
menampilkan Pulau Natuna dengan kesederhanaanya namun ternyata memiliki
keindahan yang luar biasa.
Apresia kepada Wafda yang juga berhasil membawakan sosok Jaka seorang
tentara yang mengabdi bagi negara dengan natural. Jujur saya pernah melihat Wafda
di salah satu acara traveling di televisi dan saya kurang sreg bahkan tidak
tertarik melihatnya. Jujur juga saya nggak ngeh kalo yang jadi Jaka ini Wafda
karena tampilannya memang sangat beda, dan nggak nyangka juga kalo Wafda. Namun
gila sih, di film ini saya melihat sisi lain Wafda yang ternyata keren banget, dan
saya suka sama aktingnya Wafda.
Jadi, intinya adalah saya jatuh cinta dengan film ini. Apalagi sebelumnya
saya sempat kecewa dengan dua film Indonesia yang saya tonton, yang satu riview
dimana-mana bagus, yang satunya sudah saya tunggu dari sekian lama karena kisah
nyata, nyatanya setelah saya tonton biasa saja dan tidak sesuai ekspektasi.
Kedua film itu (tidak akan saya sebutkan judulnya) memang menang secara
promosi, berbeda dengan film Jelita Sejuba ini. Film Jelita Sejuba di Yogyakarta
bahkan hanya tayang di salah satu bioskop dan promosinya juga tidak gencar.
Namun siapa sangka dengan keterbatasan dan kesederhanaan itu, nyatanya film ini
benar-benar membuat saya jatuh cinta dan melunasi rasa kekecewaan saya terhadap
dua film sebelumnya. Jadi buat kalian girls, nggak ada salahnya masukin film
Jelita Sejuba ini di list tontonan kalian.